Kamis, 13 Desember 2012

LARANGAN BERPUASA HARI JUM'AT

LARANGAN BERPUASA PADA HARI JUM'AT

Dari Muhammad bin 'Abbad ia berkata, Aku bertanya kepada Jabir, "Apakah Rasulullah saw. melarang puasa pada hari Jum'at?" Beliau menjawab, "Iya!" (HR Bukhari [1984] dan Muslim [1143]).
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum'at kecuali kamu berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya'," (HR Bukhari [1985] dan Muslim [1144]).
Dalam riwayat lain disebutkan, "Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum'at dari malam-malam lainnya untuk shalat. Jangan pula kalian mengkhususkan hari Jum'at dari hari-hari lainnya untuk berpuasa. Kecuali bila bertepatan dengan puasa sunat yang biasa ia lakukan," (HR Muslim [1144]).
Dalam riwayat lain dari Abul Aubar, ia berkata, "Suatu ketika aku duduk bersama Abu Hurairah r.a. tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan bertanya, "Sesungguhnya engkau melarang manusia berpuasa pada hari Jum'at." Abu Hurairah berkata, "Aku tidaklah melarang menusia berpuasa pada hari Jum'at, hanya saja aku mendengar Rasulullah saw, bersabda, "Janganlah berpuasa pada hari Jum'at, karena hari tersebut adalah hari 'Ied kecuali kalian menyambungnya dengan puasa pada hari-hari lain," (Shahih, HR Ahmad [II/365, 422, 458, 526], Ibnu Hibban [3610], 'Abdurrazzaq [7806], ath-Thayalisi [2595], Ibnu Abi Syaibah [III/45]).
Dari Abu Ayyub dari Juwairiyah binti al-Harits bahwa Rasulullah saw. datang menemuinya pada hari Jum'at. Saat itu ia sedang berpuasa. Rasulullah saw. berkata, "Apakah engkau berpuasa kemarin?" "Tidak!" jawabnya. "Apakah engkau akan berpuasa besok?" tanya Rasul lagi. "Tidak!" jawabnya pula. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Kalau begitu berbukalah!" (HR Bukhari [1986]).
Dari Junadah bin Abi Umayyah ia berkata, Aku datang menemui Rasulullah saw. bersama beberapa orang dari suku al-Azdi pada hari Jum'at. Rasulullah saw mengundang kami makan bersamanya. Kami berkata, "Sesungguhnya kami sedang berpuasa." Rasul bertanya, "Apakah kemarin kalian berpuasa?" "Tidak!" jawab kami. "Apakah kalian akan berpuasa besok?" tanya beliau lagi. "Tidak!" jawab kami. Rasul berkata, "Kalau begitu berbukalah kalian" Kemudian beliau berkata, "Janganlah berpuasa pada hari Jum'at secara terpisah," (Shahih, HR al-Hakim [III/608], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [2173 dan 2174], Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf [III/44]).
Dari 'Ubaidullah bin Iyad bin Laqith ia berkata, "Aku mendengar Laila isteri Basyir berkata, "Basyir menyampaikan kepadaku bahwa ia bertanya kepada Rasulullah, "Bolehkah aku berpuasa pada hari Jum'at dan tidak berbicara kepada siapapun pada hari tersebut?" Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah berpuasa pada hari Jum'at kecuali bila hari itu termasuk dalam hari-hari kamu berpuasa. Adapun kamu tidak berbicara kepada siapapun, maka sungguh, berbicara dengan perkataan yang me'ruf dan mencegah dari perkara mungkar lebih baik daripada engkau diam," (Shahih, HR Ahmad [V/224-225], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [1232], al-Baihaqi [X/75-76]).
Kandungan Bab:
  1. Larangan mengkhususkan puasa pada hari Jum'at, baik sengaja maupun tidak.
    Oleh sebab itu, sabda Nabi saw. dalam hadits Abu Hurairah r.a. riwayat muslim, "Kecuali bila bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan" harus ditafsirkan dengan riwayat-riwayat lain, yaitu, "Kecuali kamu berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya." Lebih jelas lagi disebutkan dalam hadits Junadah r.a, "Janganlah berpuasa pada hari Jum'at secara terpisah" maknanya sama seperti dalam hadits Jabir dan Abu Hurairah r.a. Oleh sebab itu, perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (IV/234) perlu dikoreksi lagi, beliau berkata, "Hadits-hadits ini membatasi larangan mutlak yang disebutkan dalam hadits Jabir. Dan menguatkan tambahan yang telah disebutkan sebelumnya yang membatasi larangan mutlak menjadi larangan berpuasa secara terpisah. Dari pengecualian tersebut dapat dipahami bolehnya berpuasa pada hari Jum'at bagi orang yang berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya. Atau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa dikerjakannya. Seperti orang yang biasa mengerjakan puasa putih (12, 13 dan 14), atau yang biasa berpuasa pada hari tertentu seperti hari 'Arafah yang bertepatan dengan hari Jum'at."
    Perkataan ini perlu dikoreksi dari beberapa sisi:
    1. Riwayat-riwayat di atas saling menjelaskan satu sama lain. Oleh sebab itu, bila bertepatan pada hari yang ia biasa mengerjakan puasa pada hari itu ditafsirkan, dibatasi dan diperjelas maknanya dengan berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya. 
    2. Jika makna mutlak dibatasi dengan sebuah pembatasan, maka tidak boleh melampauinya. Makna tersebut telah dibatasi dalam banyak hadits dengan keharusan berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, wallaahu a'lam. 
  2. Berpuasa pada hari Jum'at tidak terlarang bila berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya. Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VI/360), "Pendapat inilah yang diamalkan oleh ahli ilmu. Mereka menganggap makruh mengkhususkan berpuasa pada hari Jum'at kecuali berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya." 
  3. Imam Malik berkata dalam kitab al-Muwaththa' (I/311), "Aku tidak pernah mendengar seorang pun dari ahli ilmu dan fiqh atau orang-orang yang diikuti melarang berpuasa pada hari Jum'at. Berpuasa pada hari Jum'at bagus. Aku melihat sebagian ahli ilmu berpuasa pada hari tersebut. Dan menurutku mereka sengaja mengerjakannya."
    Perkataan ini tertolak dari beberapa sisi,
    1. Larangan berpuasa pada hari Jum'at secara terpisah telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan jelas. 
    2. Larangan tersebut juga telah dinukil secara shahih dari mayoritas Sahabat Nabi seperti 'Ali, Abu Dzarr, Abu Hurairah dan demikian juga tokoh Tabi'in seperti asy-Sya'bi dan Ibrahim an-Nakha'i. 
  4. Para ulama berbeda pendapat tentang alasan dimakruhkannya mengkhususkan berpuasa pada hari Jum'at. Sebagian mereka berkata: Karena hari Jum'at adalah hari 'Ied. Ada yang mengatakan, Agar ia tidak lesu beribadah. Ada yang mengatakan, Kekhawatiran berlebih-lebihan dalam mengagungkannya sehingga mereka menyimpang seperti menyimpangnya kaum Yahudi karena pengagungan hari Sabtu. Ada yang mengatakan, Khawatir disangka wajib
    Namun alasan pertama yang menjadi sandaran seperti yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (IV/235), "Pendapat yang paling kuat dan paling utama adalah yang pertama."
    Saya katakan, "Dalilnya adalah riwayat Abul Aubar dari Abu Hurairah ra dan perkataan 'Ali bin Abi Thalib r.a, "Barangsiapa yang ingin mengerjakan puasa sunnah beberapa hari setiap bulan hendaklah ia berpuasa pada hari Kamis. Janganlah ia sengaja berpuasa pada hari Jum'at karena hari tersebut adalah hari 'Ied, hari makan dan minum. Dengan demikian tergabunglah dua hari yang baik baginya, berpuasa (hari Kamis) dan hari beribadah kaum Muslimin (hari Jum'at)," (Hasan, HR Ibnu Abi Syaibah [III/44], 'Abdurrazzaq [7813])
    Ibnu Qayyim berkata dalam Zaadul Ma'aad (I/419 dan 420), "Alasan ini menimbulkan dua persoalan:
    Pertama: Berpuasa pada hari Jum'at bukanlah haram, sedangkan berpuasa pada hari 'Ied hukumnya haram.
    Kedua: Hukum makruh berpuasa pada hari Jum'at bisa terangkat apabila tidak dikerjakan secara khusus.
    Kedua persoalan tersebut dapat dijawab, bahwa hari Jum'at bukanlah 'Ied besar, namun 'Ied mingguan. Sementara yang diharamkan adalah berpuasa pada hari 'Ied besar. Adapun bila ia berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya berarti puasanya itu bukanlah karena hari Jum'atnya atau hari 'Iednya. Dengan demikian gugurlah mafsadah yang timbul akibat pengkhususannya. Bahkan puasanya pada hari Jum'at terhitung dalam deretan hari-hari puasanya. 
  5. Jika ada yang berkata, Dalam hadits shahih dari 'Abdullah bin Mas'id r.a. disebutkan bahwa ia berkata, "Rasulullah saw. biasa berpuasa di setiap awal bulan selama tiga hari. Dan beliau tidak berbuka pada hari Jum'at."(Hasan, HR Abu Dawud [2450], at-Tirmidzi [742], an-Nasa'i [IV/204] dan Ahmad [I/406]).
    Jawabnya, Diartikan bahwa Rasulullah saw, tidak berbuka (yakni tetap berpuasa) pada hari Jum'at jika bertepatan dengan hari puasa beliau. Oleh sebab itu at-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahli ilmu menganjurkan berpuasa pada hari Jum'at. Hanya saja makruh berpuasa pada hari Jum'at bila tidak berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya."
    Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam Zaadul Ma'aad (I/420), "Jelaslah maksudnya bahwa beliau memasukkan hari Jum'at dalam deretan hari puasa beliau. Bukan maksudnya beliau mengkhususkan berpuasa pada hari Jum'at, karena beliau melarangnya. Lalu di manakah letak hadits-hadits shahih berisi larangan yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain dari hadits-hadits yang membolehkannya yang tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penulis kitab Shahih. At-Tirmidzi sendiri menghukuminya sebagai gharib. Lalu bagaimana mungkin dipertentangkan dengan hadits-hadits shahih dan jelas maknanya kemudian didahulukan daripada hadits-hadits shahih tersebut?"
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/181-185.

Rabu, 14 November 2012

SHALAT TASBIH


segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Beberapa pertanyaan sering diajukan kepada kami mengenai shalat tasbih. Apakah benar ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalat ini? Pada kesempatan kali ini, kami punya kesempatan untuk membahasnya berkat karunia Allah. Semoga sajian berikut dapat memberikan jawaban bagi siapa saja yang masih mengganjal mengenai anjuran shalat tasbih tersebut. Hanya Allah yang beri taufik.
Hadits yang Membicarakan Shalat Tasbih
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada ‘Abbas bin Abdul Mutthalib,
يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً
"Wahai Abbas, wahai pamanku, sukakah paman, aku beri, aku karuniai, aku beri hadiah istimewa, aku ajari sepuluh macam kebaikan yang dapat menghapus sepuluh macam dosa? Jika paman mengerjakan ha itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa paman, baik yang awal dan yang akhir, baik yang telah lalu atau yang akan datang, yang di sengaja ataupun tidak, yang kecil maupun yang besar, yang samar-samar maupun yang terang-terangan. Sepuluh macam kebaikan itu ialah; "Paman mengerjakan shalat empat raka'at, dan setiap raka'at membaca Al Fatihah dan surat, apabila selesai membaca itu, dalam raka'at pertama dan masih berdiri, bacalah; "Subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar (Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada ilah selain Allah dan Allah Maha besar) " sebanyak lima belas kali, lalu ruku', dan dalam ruku' membaca bacaan seperti itu sebanyak sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dari ruku' (i'tidal) juga membaca seperti itu sebanyak sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, setelah itu mengangkat kepala dari sujud (duduk di antara dua sujud) juga membaca sepuluh kali, lalu sujud juga membaca sepuluh kali, kemudian mengangkat kepala dan membaca sepuluh kali, Salim bin Abul Ja'd jumlahnya ada tujuh puluh lama kali dalam setiap raka'at, paman dapat melakukannya dalam empat raka'at. Jika paman sanggup mengerjakannya sekali dalam sehari, kerjakanlah. Jika tidak mampu, kerjakanlah setiap jum'at, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap bulan, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap tahun sekali. Dan jika masih tidak mampu, kerjakanlah sekali dalam seumur hidup." (HR. Abu Daud no. 1297)
Dari Anas bin Malik bahwasannya Ummu Sulaim berpagi-pagi menemui Nabi shallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, ajarilah saya beberapa kalimat yang saya ucapkan didalam shalatku, maka beliau bersabda,
كَبِّرِى اللَّهَ عَشْرًا وَسَبِّحِى اللَّهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِى مَا شِئْتِ يَقُولُ نَعَمْ نَعَمْ ». قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِى رَافِعٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ. وَقَدْ رُوِىَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- غَيْرُ حَدِيثٍ فِى صَلاَةِ التَّسْبِيحِ وَلاَ يَصِحُّ مِنْهُ كَبِيرُ شَىْءٍ. وَقَدْ رَأَى ابْنُ الْمُبَارَكِ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلاَةَ التَّسْبِيحِ وَذَكَرُوا الْفَضْلَ فِيهِ. حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ حَدَّثَنَا أَبُو وَهْبٍ قَالَ سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الصَّلاَةِ الَّتِى يُسَبَّحُ فِيهَا فَقَالَ يُكَبِّرُ ثُمَّ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ ثُمَّ يَقُولُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَتَعَوَّذُ وَيَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) وَفَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً ثُمَّ يَقُولُ عَشْرَ مَرَّاتٍ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَرْكَعُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا. ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُولُهَا عَشْرًا يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ عَلَى هَذَا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ تَسْبِيحَةً فِى كُلِّ رَكْعَةٍ يَبْدَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ بِخَمْسَ عَشْرَةَ تَسْبِيحَةً ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُسَبِّحُ عَشْرًا فَإِنْ صَلَّى لَيْلاً فَأَحَبُّ إِلَىَّ أَنْ يُسَلِّمَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ وَإِنْ صَلَّى نَهَارًا فَإِنْ شَاءَ سَلَّمَ وَإِنْ شَاءَ لَمْ يُسَلِّمْ. قَالَ أَبُو وَهْبٍ وَأَخْبَرَنِى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِى رِزْمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ يَبْدَأُ فِى الرُّكُوعِ بِسُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَفِى السُّجُودِ بِسُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى ثَلاَثًا ثُمَّ يُسَبِّحُ التَّسْبِيحَاتِ. قَالَ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ وَحَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ زَمْعَةَ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الْعَزِيزِ وَهُوَ ابْنُ أَبِى رِزْمَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ إِنْ سَهَا فِيهَا يُسَبِّحُ فِى سَجْدَتَىِ السَّهْوِ عَشْرًا عَشْرًا قَالَ لاَ إِنَّمَا هِىَ ثَلاَثُمِائَةِ تَسْبِيحَةٍ.
"Bertakbirlah kepada Allah sebanyak sepuluh kali, bertasbihlah kepada Allah sepuluh kali dan bertahmidlah (mengucapkan alhamdulillah) sepuluh kali, kemudian memohonlah (kepada Allah) apa yang kamu kehendaki, niscaya Dia akan menjawab: ya, ya, (Aku kabulkan permintaanmu)." (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Ibnu Abbas, Abdullah bin Amru, Al Fadll bin Abbas dan Abu Rafi'. Abu Isa berkata, hadits anas adalah hadits hasan gharib, telah diriwayatkan dari Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam selain hadits ini mengenai shalat tasbih, yang kebanyakan (riwayatnya) tidak shahih. Ibnu Mubarrak dan beberapa ulama lainnya berpendapat akan adanya shalat tasbih, mereka juga menyebutkan keutamaan shalat tasbih. Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin 'Abdah Telah mengabarkan kepada kami Abu Wahb dia berkata, saya bertanya kepada Abdullah bin Al Mubarak tentang shalat tasbih yang didalamnya terdapat bacaan tasbihnya, dia menjawab, ia bertakbir kemudian membaca SUBHAANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA WA TABAARAKASMUKA WA TA'ALA JADDUKA WALAA ILAAHA GHAIRUKA kemudian dia membaca SUBHAANALLAH WALHAMDULILLAH WA LAAILAAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR sebanyak lima belas kali, kemudian ia berta'awudz dan membaca bismillah dilanjutkan dengan membaca surat Al fatihah dan surat yang lain, kemudian ia membaca SUBHAANALLAH WALHAMDULILLAH WA LAAILAAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR sebanyak sepuluh kali, kemudian ruku' dan membaca kalimat itu sepuluh kali, lalu mengangkat kepala dari ruku' dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, kemudian sujud dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, lalu mengangkat kepalanya dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, kemudian sujud yang kedua kali dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, ia melakukan seperti itu sebanyak empat raka'at, yang setiap satu raka'atnya membaca tasbih sebanyak tujuh puluh lima kali, disetiap raka'atnnya membaca lima belas kali tasbih, kemudian membaca Al Fatehah dan surat sesudahnya serta membaca tasbih sepuluh kali-sepuluh kali, jika ia shalat malam, maka yang lebih disenagi adalah salam pada setiap dua raka'atnya. Jika ia shalat disiang hari, maka ia boleh salam (di raka'at kedua) atau tidak. Abu Wahb berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Abdul 'Aziz bin Abu Rizmah dari Abdullah bahwa dia berkata, sewaktu ruku' hendaknya dimulai dengan bacaan SUBHAANA RABBIYAL 'ADZIIMI, begitu juga waktu sujud hendaknya dimulai dengan bacaan SUBHAANA RABBIYAL A'LA sebanyak tiga kali, kemudian membaca tasbih beberapa kali bacaan. Ahmad bin 'Abdah berkata, Telah mengabarkan kepada kami Wahb bin Zam'ah dia berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Abdul 'Aziz dia adalah Ibnu Abu Zirmah, dia berkata, saya bertanya kepada Abdullah bin Mubarak, jika seseorang lupa (waktu mengerjakan shalat tasbih) apakah ia harus membaca tasbih pada dua sujud sahwi sebanyak sepuluh kali-sepuluh kali? Dia menjawab, tidak, hanya saja (semua bacaan tasbih pada shalat tasbih) ada tiga ratus kali. (HR. Tirmidzi no. 481)
Kedua hadits di atas adalah hadits yang menjelaskan tata cara shalat tasbih. Intinya, shalat tasbih dilakukan dengan 4 raka’at. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat tasbih jumlahnya empat raka’at dan tidak boleh lebih dari itu. Jika di siang hari, maka  dilakukan dengan sekali salam. Jika di malam hari, maka dilakukan dengan dua kali salam (setiap dua raka’at salam). Shalat ini afdholnya dilakukan sehari sekali. Jika tidak bisa, maka dilakukan setiap Jum’atnya (sepekan sekali). Jika tidak bisa lagi, maka sebulan sekali. Jika tidak bisa pula, maka setahun sekali. Jika tidak bisa lagi, maka seumur hidup sekali. Demikian pendapat ulama yang menganjurkan atau membolehkan shalat tasbih.[1]
Perselisihan Ulama Mengenai Shalat Tasbih
Para ulama berselisih pendapat mengenai disunnahkannya shalat tasbih. Sebab perselisihan mereka berasal dari shahih atau tidaknya hadits yang membicarakan shalat tersebut.
Pendapat pertama: Shalat tasbih disunnahkan. Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. An Nawawi dalam sebagian kitabnya menyatakan bahwa shalat tasbih adalah sunnah hasanah. Lalu beliau berdalil dengan hadits yang membicarakan tentang shalat tasbih.
Pendapat kedua: Shalat tasbih tidak mengapa dilakukan, artinya dibolehkan.  Ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan, “Seandainya hadits tentang shalat tasbih tidaklah shahih, maka ini adalah bagian dari hadits yang membicarakan tentang fadhilah amal (keutamaan amalan), maka tidak mengapa jika menggunakan hadits dho’if.”
Pendapat ketiga: Shalat tasbih tidak disyariatkan. An Nawawi dalam Al Majmu’ mengatakan, “Tentang disunnahkannya shalat tasbih, maka itu adalah pendapat yang kurang tepat karena haditsnya adalah hadits yang dho’if. Shalat tasbih pun adalah shalat yang berbeda dengan shalat biasanya karena tata caranya yang berbeda. Oleh karena itu, tepatnya shalat tersebut tidak berdasar dari hadits dan tidak satu pun hadits shahih yang membicarakannya.” [2]
Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak ada yang mengagumkanku (pada shalat tasbih).” Ada yang bertanya, “Mengapa engkau tidak menyukai shalat tasbih?” Beliau mengatakan, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang benar membicarakan tentang shalat itu.” Lalu beliau berisyarat dengan tangannya, tanda mengingkari shalat tersebut.[3] [4]
Penilaian Ulama Mengenai Status Hadits Shalat Tasbih
Ibnul Jauzi memasukkan hadits tentang shalat tasbih dalam Al Mawdhu’aat (kumpulan hadits-hadits maudhu’ atau palsu).
Ibnu Hajar dalam At Talkhish menyatakan, “Yang benar seluruh jalan yang membicarakan hadits tersebut dho’if. Hadits Ibnu ‘Abbas memang mendekati syarat hasan. Akan tetapi hadits tersebut mengalami syadz (menyelisihi perowi yang lebih kuat) karena adanya perowi yang bersendirian tanpa adanya syahid (hadits pendukung ) yang dapat teranggap. Shalat ini pun menyelisihi shalat lainnya yang biasa dilakukan.”
Ibnu Taimiyah dan Al Mizzi mendho’ifkan hadits ini. Sedangkan Imam Adz Dzahabi tawaqquf, tidak komentar apa-apa. Demikian dikatakan Ibnu ‘Abdil Hadi dalam Ahkamnya.[5]
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ menyatakan, “Shalat tasbih adalah shalat yang tidak dianjurkan karena haditsnya tidaklah shahih. Bahkan hadits tersebut munkar dan sebagian ulama memasukkan dalam hadits maudhu’ (hadits palsu).”[6]
Sedangkan ada pendapat yang berbeda dalam menilai status hadits shalat tasbih  yang dipilih oleh ahli hadits abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Dalam beberapa tempat, beliau rahimahullah menshahihkan hadits tentang shalat tasbih. Beliau juga memiliki kitab tersendiri yang menjelaskan status hadits tentang shalat tasbih, yaitu kitab “At Tawshih li Bayani Sholatit Tasbih”.
Penutup
Pendapat yang lebih menentangkan hati penulis dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan lemahnya hadits yang membicarakan shalat tasbih karena yang menilai demikian adalah kebanyakan ulama yang pakar di dalamnya. Ditambah pula bahwa tata cara shalat tasbih berbeda dengan cara shalat yang biasa dilakukan.
Akan tetapi, siapa yang memilih pendapat ulama yang menshahihkan hadits tersebut kami hargai. Dan silakan ia beramal dengannya jika memang ia yakini shahihnya. Namun tentu saja ini didasari ilmu bukan hanya memperturutkan hawa nafsu belaka.
Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat tasbih itu boleh-boleh saja dilakukan, walaupun haditsnya dho’if, maka cukup kami sanggah dengan ucapan Ibnu Taimiyah, “Hadits dho’if bisa diriwayatkan namun dalam masalah targhib dan tarhib (memotivasi dan menakut-nakuti) saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya suatu amalan.”[7]
Tidak tepat pula jika shalat tasbih ini dikhususkan pada malam Jum’at saja, atau pada malam keduapuluh tujuh di bulan Ramadhan sebagaimana dipraktekkan di sebagian daerah. Pengkhususan seperti ini tentu saja butuh dalil yang shahih.[8]
Masih banyak sekali shalat sunnah yang bisa diamalkan, ada shalat Dhuha, shalat Witir dan shalat Tahajud. Jika kita mencukupkan diri dengan shalat yang shahih seperti ini, sebenarnya sudah mencukupi dan juga bisa meraih pahala yang melimpah ruah.

maaf menyadur dari http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-artikel/25982-kebaikan-dalam-sholat-tasbih-hapus-sepuluh-macam-dosa.html


Jumat, 05 Oktober 2012

Mencari Rizki dan Nafkah


Nonton Trans 7 ada acara U2 (UJE dan Udin),
‘Seorang suami saat keluar rumah carilah Allah, bukan mencari nafkah dan rizqi. Inilah kesalahan banyak manusia yang sering mencampuri urusan Allah. Sudah jelas dan semua tahu jika nafkah dan rizky yang memberikan adalah Allah, tapi manusia sering salah niat. Jadi mulai sekarang tiap keluar rumah berniatlah mencari Allah, maka esok dan seterusnya Allah pasti memberikan Nafkah dan Rizqi-NYA untuk kita semua.’
(Ustad Jefri Albukhari, 2010)

KISAH USTAD YUSUF MANSUR MENEMUKAN TUHAN (ALLAH SWT)

Hikmah itu datangnya dari mana saja.....

Beberapa hari yang lalu, di stasiun TV One secara nggak sengaja saya melihat ada Ustad Yusuf Mansur. Kebetulan waktu itu habis sholat tarawih dan ingin santai sejenak. Wah kebetulan nih ada ceramahnya ustad Yusuf Mansur… pikirku. Ternyata bukan ceramah... melainkan kisah tentang tokoh... yang selalu ditayangkan oleh tv One setiap kamis malam.

Waktu itu ustad Yusuf Mansur berkisah tentang perjalanan hidupnya yang penuh dengan masalah. Dililit hutang banyak... Ditagih sana sini… sampai akhirnya masuk penjara 2 kali. Wah pokoknya betul-betul lengkap deh… kata ustad Yusuf Mansur waktu itu.

Di tengah acara tiba-tiba datang seorang sahabat ustad Yusuf Mansur… yaitu Mucele… yang biasa tampil di acara Republik Impian. Saat itu Ustad Yusuf Mansur memeluk sang sahabat…yang katanya betul-betul sahabat sejati. Karena Mucele ini… selalu menemani Ustad Yusuf Mansur baik dikala susah maupun senang… tapi waktu itu… banyak susahnya katanya.

Pernah suatu saat Mucele diajak oleh Ustad Yusuf mansur ke suatu tempat, kemana gitu… Si Mucele ini nggak pernah nanya mau kemana… pokoknya kalau di ajak ustad Yusuf Mansur… mau aja. Tiba-tiba dalam suatu perjalan kedua orang yang mengendarai sepeda motor baru milik Mucele ini... menabrak trotoar. Saking kerasnya tabrakan itu… sampai-sampai ustad Yusuf Mansur terpental jauh sampai ke tengah jalan... dan pingsan. Sedangkan Mucele... masih sadar di dekat motornya. Waktu itu Mucele hanya berpikir... waduuuh… gimana nasib Ustad Yusuf Mansur yah... secara refleks dia langsung menggeser tubuh ustad Yusuf Mansur ke pinggir jalan dan sambil menunggu bantuan.

Akhirnya Ustad Yusuf Mansur di bawa ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Nah…pas di Rumah sakit itulah ustad Yusuf mendapatkan hikmah yang luar biasa besarnya.

Rupanya sebelum kejadian kecelakaan tersebut… pikiran Ustad Yusuf Mansur dipenuhi dengan beban hutang dan masih banyak masalah lainnya yang sangat berat waktu itu. Sehingga waktu mengendarai sepeda motor menjadi tidak konsentrasi dan akibatnya terjadilah kecelakaan itu. Tapi justru karena kecelakaan itulah… katanya membawa hikmah yang luar biasa kepada dirinya.

Bagaimana kecelakaan kok malah membawa hikmah…?

Ceritanya begini. Sewaktu dia di rawat di Rumah Sakit tersebut...di sbelah ustad yusuf mansur ada seorang yang sedang didoakan oleh pastur atau pendeta. Sang Pendeta ini berkata kepada pasien yang di sebelah ustad Yusuf mansur tersebut.... “APAPUN KONDISI ANDA... SEBERAT APAPUN BEBAN HIDUP DAN SAKIT YANG ANDA DERITA... YAKINLAH BAHWA TUHAN ITU SANGAT BESAR KUASA-NYA. DIA BISA MENYEMBUHKAN DAN MEMBAWA KEBAIKAN KEPADA SIAPAPUN YANG DIKEHENDAKI-NYA DALAM SEKEJAB...”

Waktu itu Ustad Yusuf Mansur, dari kata-kata sang pendeta itu dia terjemahkan di dalam pikiran nya sendiri sebagai berikut: “SEBERAPA BESARPUN BEBAN HUTANG SAYA... SAYA HARUS YAKIN BAHWA ALLAH MAHA KUASA UNTUK MELUNASI-NYA. ASALKAN SAYA PERCAYA DAN TAWAKAL KEPADA-NYA... OH IYA... YA... KENAPA SELAMA INI SAYA MELUPAKAN ALLAH SWT. KENAPA SAYA TIDAK MENGHARAPKAN PERTOLONGAN ALLAH DAN MENGANGGAP BAHWA SEMUA MASALAH INI BISA SAYA SELESAIKAN SENDIRI. SUNGGUH SAYA TERMASUK ORANG YANG LUPA... dst. Ustad Yusuf Mansur menangis tersedu-sedu.

Begitulah petunjuk Allah SWT datang melalui lisan seorang Pendeta. Memang hidayah Allah SWT itu datangnya bisa dari mana saja. Asalkan kita mau membuka hati dan pikiran kita...maka kita akan mendapat petunjuk yang tidak disangka-sangka. Bahkan para kaum sufi jaman dulu... hanya lewat desiran angin mereka sudah merasakan kebesaran Allah SWT. Jalaludin Ar Rumi... mendengarkan bunyi-bunyian seruling atau bahkan ketukan palu... pun... sudah bisa menggetarkan hatinya akan kebesaran Allah SWT. Maka seperti itulah akhirnya yang terjadi pada diri ustad Yusuf Mansur.

Mulai saat itu dia bertekad untuk selalu melaksanakan perintah Allah SWT dan meminta pertolongan kepada Allah SWT. Sampai akhirnya dia sadar akan kesalahan selama ini.

Wah berarti sudah insaf ya ustad...? belum juga . Ternyata perjalanan masih berliku. Ustad Yusuf Mansur sempat masuk penjara lagi. Dan didalam penjara inilah... keajaiban sedekah dia terapkan. Ceritanya begini... PERNAH SUATU SAAT USTAD YUSUF MANSUR MEMPUNYAI SEPOTONG ROTI, PAS DIA MAU MAKAN... TERNYATA DIA MELIHAT DI TEMBOK PENJARA... ADA SEDERATAN SEMUT. KEMUDIAN SECARA SPONTAN TERGERAK UNTUK MEMBERIKAN ROTINYA KEPADA SEMUT. SAMBIL BERKATA “SEMUT, KAMU SUDAH SAYA BERI ROTI YANG CUMAN SATU INI... TOLONG DOAKAN SAYA BIAR MENDAPAT REZEKI YANG BANYAK DAN BAROKAH YA...!” Begitu doa ustad Yusuf mansur saat itu.

Teryata apa yang diharapkan ustad Yusuf Mansur terkabulkan. Karena tidak seberapa lama... tiba-tiba saja si penjaga penjara bertanya kepadanya “HAI UCUP... KAMU SUDAH MAKAN BELUM...? KALAU BELUM NIH SAYA KASIH AYAM GORENG”. Waktu itu ustad Yusuf Mansur sangat bersyukur pada Allah SWT yang telah mengabulkan doanya. Mulai saat itu akhirnya ustad Yusuf Mansur sangat percaya dengan kekuatan sedekah.

MAAF BERIBU MAAF BILA ADA PENULISAN DAN PENAFSIRAN YANG KURANG TEPAT MOHON MAAF YANG SEBESARNYA.

Selasa, 11 September 2012

Doa Pembuka Rizki: Surat Al-Waqi’ah

Surat Al-Waqi’ah adalah salah satu yang dikenal sebagai surat penuh berkah. Keberkahannya mampu melenyapkan kemiskinan dan mendatangkan rejeki bagi siapa saja yang membacanya dengan rutin.
Dalam beberapa riwayat, diungkapkan bahwa Rosulullah bersabda:
  1. Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah setiap malam, maka kemiskinan tidak akan menimpa dirinya untuk selamanya
  2. Surat Al-Waqi’ah adalah surat kekayaan, maka bacalah surat itu dan ajarkan kepada anak-anak kalian
  3. Ajarkanlah istri kalian surat Al-Waqi’ah, karena sesungguhnya surat itu adalah surat kekayaan.
Dengan melihat kedudukan surat Al-Waqiah yang sedemikian besar khasiatnya untuk mendatangkan rejeki bagi kita, marilah mulai sekarang membacanya secara rutin setiap hari atau setiap malam. Karena memang surat itu penuh berkah dan mengundang kekayaan serta mengusir kemiskinan bagi siapa saja yang mau secara rutin membacanya.

Silahkan download file MP3 tausiah Yusuf Mansur tentang Al Waqiah  di link ini :
1. http://www.ziddu.com/download/7549283/ASMAULHUSNA.pdf.html (ini berisi file PDF yang isinya Asmaul husna lengkap dengan arti dan keutamaannya).
2. http://www.4shared.com/file/117302708/ed9aaed1/Hikmah_Pagi_-_10072009_-_Yusuf_Mansur_-_Fadhillah_Surah_Al_Waaqiah.html?s=1


amin

salam perkenalan

Assalamu'alaikum wr. wb.

ini pertama kalinya saya belajar temtang dunia blog. Semoga dengan blog ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

amin

Wassalamu'alaikum wr. wb.


akhmad subhi